Monday, May 21, 2012

Kubikel Cinta



SALAH PAHAM
Gue melihat ke balik jendela. Gersang dan tandus. Tak ada pohon ataupun ilalang di sana. Sepanjang mata memandang, gue cuma menemukan pasir dan matahari yang terik. Ga usah di efek sephia, photo yang gue jepret sudah jadi ber-shepia. Yap, ini adalah pengalaman pertama gue menginjakkan kaki di negeri 1001 malam, negeri para
“Onta!! Onta!!” Dika teriak seketika saat ada orang arab tinggi besar berjambang rindang melewati seat kami, hendak balik dari kamar mandi ke arah depan.
Si Arab itu berhenti dan memandang tajam ke arah Dika, partner kerja gue yang malang tersebut. Everybody knows that mostly Arabian understand Bahasa Indonesia dan Mungkin dia merasa ‘terpanggil’ saat Dika teriak ‘onta’ barusan.
“Hei Indonesia, bilang apa kamu tadi?” kata si Arab dengan nada tinggi. Dika kaget. Gue maki dia ‘monyet!!!’ (dengan lirih) . Untung Dika langsung paham situasi. Seraya menjawab dengan terbata-bata, jari telunjuknya menunjuk ke jalanan. O – N – T – A. ONTA, Habibie. ONTA.
“Errr...”

Entah karena malu atau merasa ditipu. Si Arab yang terlanjur ke-GR-an tadi langsung ngeloyor pergi menjauh dari kami. Gue menarik nafas panjang, besyukur pada Tuhan. Fiuuhhh...
Gue lihat Dika dengan ramah. Perlahan gua elus-elus kepala partner gue itu. Dia tersenyum, gua pun membalas senyumannya. Tidak lama berselang...
PLETAAKKK!!!!
Auchhh!!

WATAK SEJATI
 "Menikah akan membuka semuanya, keasliannya. Kebaikan dan tentu saja keburukannya. Siapkah kamu? "
“Kamu kapan jadinya bisa ambil cuti? Sebentar lagi acara ulang tahun perkawinannya papa mama.” Fikry menelponku lagi. Menanyakan hal yang saya sendiri tak yakin jawabannya.
Sebenarnya bukan saya tidak tahu hari penting itu. Tanggal 21 April 2012 sudah saya lingkari dari awal tahun ini. Tapi mau dikata apa lagi, saya baru saja mengambil cuti pulang ke Indonesia untuk saat lebaran akhir tahun lalu. Dan tentu saja, tidak mudah untuk cuti lagi dengan jeda waktu yang singkat.
“Maaf mas, saya belum tahu. Saya belum berani mengajukan cuti lagi.” Saya menyampaikannya dengan sangat hati-hati.
“ . . . .”
Walau tak ada suara, namun saya mencium rasa kecewa di seberang sana.
“Maaf mas. Frisa minta maaf,” saya berulang kali menegaskan penyesalan saya padanya.
“Yasudahlah, Wassalamualaikum.” -klik-
Wa’alaikumsalam wr wb , jawabku pada telpon yang mati.
Saya masih berdiri mematung di pinggir jendela lantai tujuh. Memandang langit yang cerah tanpa awan dari balik kaca apartemen. Nafas terasa berat. Seharusnya saya bisa bahagia tanpa kebersamaan, sama seperti langit ini, cerah walau tanpa awan. Dan seharusnya kami saling mengerti.
Ya, saya menikah namun terpisah jarak ribuan mil dengan Fikry, suami saya. Itu karena suami saya tidak bisa meninggalkan bisnisnya di Jakarta dan saya seperti biasa, melanglang buana sesuai Surat Tugas Penempatan yang diamanahkan dari pusat.
“Sudahlah, dek. Kamu keluar saja dari pekerjaanmu. Demi kebaikan bersama. Kita keluarga sekarang, lebih baik tinggal bareng untuk konsentrasi membangun keluarga di Indonesia.”
Permintaan mas Fikry masih jelas teringat oleh saya. Namun saya tak mengiyakannya. Waktu itu dan hingga kini. Saya paham apa yang disampaikannya, namun saya cinta pekerjaan saya lebih dari cinta saya padanya.
Egois ya saya? Silahkan berkesimpulan sendiri.
Saya tidak mau ambil pusing dengan pikiran orang lain. Capek tau dengerin omongan orang. Siapa lagi yang care sama diri kita selalin kita sendiri?
Btw, Sekarang saya ditempatkan di KJRI Jeddah, Saudi Arabia. Bunda senang sekali saat saya ditempatkan di sini. “Selamat ya nak, kamu dekat dengan rumah Allah sekarang. InsyaAllah baik untukmu.”
Bunda tak pernah absen memberikan dukungannya pada saya. Namun tidak begitu dengan ayah. Ayah mencemaskan pernikahan saya. Jarak yang jauh bukan hal yang mudah untuk dilalui pasangan suami istri.
“Selalu berdoa ya, nduk. Allah senantiasa memberikan yang terbaik. Jangan lupa, kebaikan juga menuntut tanggung jawab. Jagalah selalu komunikasi dan silaturahmi dengan suamimu.”
Pesan ayah itu seperti recorder yang tak henti berulang di kepala saya. Terlebih saat hubungan saya dengan Fikry tidak berjalan dengan semestinya.
Seperti tadi, saat ponsel saya berdering dengan nama Fickry di layarnya. Dan berlanjut dengan pembicaraan dingin yang tak lama. Saya merasa gagal sebagai istri.
Fikcry yang sekarang, sangat berbeda dengan Fickry yang dulu, saat dia dikenalkan kepada saya. Yang sangat sopan dan menghargai saya dengan pantas. Atau, memang saya yang tidak mengenalnya sama sekali?
QUAWA
" Ada beberapa hal yang menyatukan dua karakter yang berbeda, kopi salah satunya."
Tak ada yang menarik di Jeddah saat malam hari. Hanya lampu kota yang tak tertata dengan baik serta mobil-mobil bekas yang dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya teronggok di pinggir jalan utama.
Sementara kamera gue off. Gue sempatkan untuk menyesap quawa, kopi tradisional Arab. Di salah satu coffe shop di bilangan Gold Market, kawasan Balad. Sebenarnya gue ga suka kopi, malahan seringkali gue mules begitu cairan pekat berkafein ini memasuki sistem pencernaan gue.
“Kalau ke Arab kamu harus coba quawa, Do. Katanya, rasa quwawa adalah personal, beda-beda untuk setiap orang. Siapa tahu kamu menemukan hal lain dari kopi untuk kamu sukai di sana.”
Dua tahun lalu, saat gue menemani Frisa ke Omah Kopi, salah satu kedai kopi di Jl.Sadjito Yogyakarta. Dia memberi sedikit ‘kelas kopi’ sama gue.
Dengan dia menyesap kopi aceh dan gue nyedot aqua botol for sure.
“Apa sih enaknya kopi?” sudah banyak yang gue tanya kayak gini, cuma gue belum dapat jawaban yang pas menurut gue.
Frisa ga langsung menjawab. Dia berhenti mengaduk cangkirnya dan menaruh sendok kecil di lepek. Dia mendongak, menopang dagu. Alisnya naik dan ujung bibirnya menyimpul ke atas. Matanya menyipit persis orang Cina.
Gue melihat ekspresi itu sebagai ‘kamu adalah orang kesekian yang menanyakan hal itu’
“Saya mengenal kopi sejak kecil, dari ayah. Ayah pecandu kopi dan rokok. Mungkin kebiasaan yang sudah menyatu.”
“Eh, kenapa lo ga ngerokok?”
“Saya ga suka rokok, asap rokok ayah saja suka bikin batuk. Mana mungkin saya masukkannya ke tenggorokan.”
“Pahitnya kopi buat saya justru adalah rasa manis. Manis yang lain,” lanjut Frisa. “Makanya saya sering ‘lari’ ke kopi saat ada masalah, kopi membuat saya nyaman.”
Gue tak banyak nongkrong di kedai kopi, coffee shop atau semacamnya. Paling kalau sedang ada janji dengan klien, itupun gue memesan kopi susu. Namun Frisa, dia berhasil membuat itu semua berbeda. Buat gue, kedai kopi adalah kesempatan untuk bersama dia. Itulah kenapa gue selalu mengiyakan kala Frisa mengajak gue ngopi. Karna buat gue, kenyamanan gue adalah saat bersama Frisa.
“Eldo?”
Gue mengenali suara itu.
DI BALIK LAYAR
“Frisa?” Sosok di depan saya tak kalah kaget dengan saya.
Saya sendiri? Saya limbung.
Nyatakah ini, Tuhan?
Saya memegang pipinya, membelai rambutnya. Kulit saya merasakannya, masih sama. Mata saya menghangat. Senyum saya mengembang begitu saja. Ini bukan mimpi. Ini bukan ilusi. Di depan saya benar dia.
Eldo Nababan. I’m missing him a lot, instead he never knows.
Sosok itu langsung berdiri, mendekap erat tubuh mungil ini saat saya masih terdiam, tak percaya.
***
“lo apa kabar, Sa? ‘layu’ sekali.”
Saya tersenyum. Eldo tak berubah, perhatiannya masih sama seperti dulu. Saya merasakan itu.
“Saya bekerja, Eldo. Wajar bukan kalau saya mengurus?”
“Ga, kurus lo tu beda. Dulu pas lo sakit maag akut, badan lo kurus tapi air mukamu tetap cerah. It’s two different condition.”
“ . . . . . . ”
“Saya tak apa-apa. Oh ya, by the way angin mana nih yang sukses membawamu kemari?”
“Tugas hunting unta betina, ya?”
“Sialaaann kamu.. Unta betina mah di ragunan juga ada kali. Gue sedang dapat tugas spesial.”
“Oya? Apa itu?” Saya mengernyitkan dahi.
“Gue sedang meliput Laut-Laut Arab. Lo pasti ga tahu kalau di lepas pantai Laut Merah Utara, terdapat terumbu karang yang tumbuh subur. Mereka hanya terlihat saat matahari menembus jernihnya air laut.” Still same like before, his antusiasm can make me fell the same.
“Suami apa kabar?” Akhirnya, pertanyaan dengan jawaban sulit itu keluar.
“Fine, he’s always fine. Me who never will.”
“Elsa, Is there something wrong with you?” tangan eldo menggenggam tangan saya. Tak peduli ini di Arab, saya membiarkannya. I need it, indeed.
KOTAKAN CINTA
“Cinta tak mengenal waktu. Dia akan selalu ada walaupun keadaannya tak lagi sama.”
Esok malamnya. Di tempat yang sama dan jam yang tak beda.
“Kamu ga ada kabar dua tahun ini?” matanya memandang lekat ke gue.
“Lo juga. Ga pernah kontak gue.” Gue merasa bukan satu-satunya terdakwa di sini.
Kami saling membuang muka. Memandang acak di gulita malam.
“Gue butuh waktu untuk mencoba sesuatu yang baru.”
“Waktu untuk melupakan saya?”
Gue mengangkat alis, mengangguk pelan. Mengiyakannya. Kali ini kami bertatapan, lekat.
“Dan ternyata gue ga pernah bisa. Sayang gue ke lo udah terlalu kuat melekat. Tak mau lepas barang satu detikpun. Gue sudah berusaha, sekuat tenaga. Namun sepertinya lo sudah mengunci satu petak ruang di hati gue, yang bahkan gue sendiri tak mampu untuk membukanya. Ruang hati terdalam.”
Ada hening di sana. Entah apa yang dipikirkan Frisa.
Gue tahu ini bukan hal yang tepat untuk disampaikan pada wanita dewasa bersuami. Namun gue bukan orang yang pandai berpura-pura. Lagi pula lambat laun hal ini pasti akan terbuka juga, hanya menyoal waktu untuk itu.
“Saya juga.” Mata FrisaFrisa menggeser posisi badannya. Menyandar ke kursi, matanya kembali menerawang ke luar jendela. Lebih jauh dari yang tadi.
“..... Maksud mu??”
“Iya , saya juga. Merasakan hal yang sama, melakukan hal yang sama, dan mendapat hasil yang sama pula.”
“Jadi? Selama ini lo menipu gue?”
“Kamu dan diri saya sendiri. Saya sadar kalau sayang sama kamu, namun hal itu berat sekali untuk diterima keluarga saya. Saya menipu kamu dan diri saya sendiri.”
Gue terperangah. Ga nyangka bakal kayak gini. Memori gue segera terdampar hebat ke masa lalu, jauh di belakang. Saat semua bermula, saat rasa itu mulai tercipta. Taruhan gila, gembok cinta, rasa beda agama, dan jodoh yang sepertinya sempurna. Ternyata semua hanya sandiwara berepisode.
“Lalu kenapa lo mau menikah dengan Fikry?” gue merasa dipermainkan.
“Menikah adalah ibadah di Islam, dan di langkah itu, saya ingin membaktikan diri pada orang tua saya. Kalau Fikry, baik menurut orang tua saya. Saya yakin itulah adanya. Ridhlo Allah ada pada Ridhlo orang tua.”
“Walaupun itu harus mengorbankan diri lo sendiri?” sergah gue.
Frisa hanya diam . Tak mampu menjawab.
“Dan gue?” tangan gue bergetar saat mengatakannya.
Air mata Frisa jatuh. Setetes, dua tetes lalu berderai tak terbendung.
Langit malam itu cerah seperti biasanya. Tak ada awan atau penghalang sinar bintang. Bulan purnama juga tampak sempurna menggantung di langit Balad. Pendar cahayanya membuat kota Jeddah malam itu tampak lebih indah dari yang seharusnya.
Perasaan gue malam itu tak karuan. Seperti minuman yang dijungkir balikkan oleh bartender. Seperti bijih kopi yang disemprot air panas bertekanan tinggi oleh barista.
Namun dari semuanya, gue mendapat kejujuran malam itu. Meski pahit.
Detik itu gue sadar satu hal, bahwa cinta ga pernah salah memilih. Logika manusia lah yang seringkali mengkotak-kotakkannya, sehingga ia tak lagi sejati namun rekayasa demi suatu asa.

No comments:

Post a Comment